Sejarah Konflik Aceh: Transformasi GAM Menjadi Partai Politik Lokal Aceh
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pernah menjadi simbol separatisme bersenjata di Indonesia. Kini, mereka bertransformasi menjadi kekuatan politik lokal melalui Partai Aceh. Simak kisah lengkapnya di sini.
MOU HELSINKISEJARAH GAMKONFLIK ACEH
Jia Aviena
6/16/20252 min read


alibipolitik.com - Sejarah panjang konflik Aceh menemukan titik balik penting pada 15 Agustus 2005. Momentum itu tercatat lewat penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang secara resmi menandai akhir dari perlawanan bersenjata dan menjadi babak baru transformasi politik di provinsi paling barat Indonesia ini.
Transformasi GAM menjadi partai politik lokal tidak dapat dilepaskan dari dinamika sejarah yang pelik, mulai dari pemberontakan DI/TII pada 1950-an, status daerah operasi militer (DOM) sejak 1989, hingga eksploitasi sumber daya alam Aceh yang tidak dirasakan hasilnya oleh masyarakat.
Menurut peneliti Santi Andriyani dalam jurnal Transformasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, “Konflik di Aceh mempunyai latar belakang yang panjang... yang bermuara dengan adanya MoU Helsinki 2005, yang melahirkan kebijakan Otonomi Khusus dan memberikan wewenang berupa pembentukan partai politik lokal Aceh”.
Dalam perjanjian Helsinki, terdapat butir khusus yang mengizinkan pendirian partai politik lokal. Tak lama setelah itu, mantan petinggi GAM seperti Muzakir Manaf, Malik Mahmud, dan Muhammad Yahya mendirikan Partai Aceh, dengan harapan memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui jalur demokrasi.
Meski begitu, perubahan dari senjata ke suara rakyat tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak tantangan yang dihadapi. “Secara empiris, elite yang berada dalam partai politik lokal Aceh terlibat korupsi bantuan sosial… bahkan ada mantan anggota GAM yang kecewa karena tidak menerima dana kompensasi,” tulis Santi.
Kemenangan Partai Aceh di Pemilu 2009 dengan menguasai 48,78% suara dan mendudukkan 33 kader di DPRA menjadi puncak kekuatan politik eks-GAM. Namun, euforia itu tidak sepenuhnya berdampak positif. Beberapa kalangan masyarakat Aceh mengaku tidak merasakan perubahan berarti.
“Salah satu hal yang mengemuka adalah banyaknya kasus korupsi… mereka tidak mengutamakan kepentingan masyarakat Aceh, tetapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi,” ungkap seorang warga Aceh Singkil dalam hasil wawancara yang dikutip dalam jurnal.
Transformasi GAM juga dilihat dari sisi konsensus nasional. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden SBY dan Jusuf Kalla, memfasilitasi dialog yang sebelumnya dianggap mustahil. Proses ini tidak hanya meredam konflik, tetapi juga membuka jalan bagi pendekatan politik baru yang lebih inklusif.
Namun demikian, sejarah masih mencatat pekerjaan rumah besar: bagaimana eks-GAM yang kini menjadi aktor politik bisa tetap menjaga idealisme perjuangan sambil memenuhi ekspektasi rakyat Aceh yang kian menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Dalam penutup jurnalnya, Santi menegaskan, “Transformasi politik dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi partai politik lokal Aceh belum menyentuh pada kepentingan masyarakat Aceh secara menyeluruh”.